Di masa Kerajaan Majapahit, saat Sang 
Raja Brawijaya berkuasa, ada kisah seorang pelukis dan ahli pahat yang 
sangat terkenal. Ia bernama Sungging Prabangkara. Banyak karya dan 
lukisan yang telah dihasilkan oleh Sungging Prabangkara. Sungging 
Prabangkara dikisahkan sebagai seorang abdi dalem Kerajaan Majapahit 
yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang seni. Begitu terkenalnya 
Sungging Prabangkara, sampai dia pun ditugaskan melukis dan memahat di 
Kerajaan Cina. Sebagai delegasi Majapahit, tentu saja Sungging 
Prabangkara mengambil kesempatan tersebut.
Sebagai seniman lukis, Sungging 
Prabangkara juga pernah diutus untuk mendatangi Kerajaan Galuh 
Padjajaran untuk melukis kecantikan Putri Dyah Ayu Pitaloka. Karena 
kecantikan dan kemiripan lukisan dengan sosok sang putri, akhirnya Raja 
Majapahit ingin mempersunting Putri Dyah Ayu Pitaloka.
Sungging Prabangkara dikisahkan belajar 
ukiran di Cina, namun dia memiliki keahlian dasar sebagai pelukis. Kisah
 Sungging Prabangkara ini diceritakan oleh Legisan, seorang pengrajin 
ukiran Jepara saat tim IndonesiaKaya.com mengunjungi workshop Adi Putra 
Galeri miliknya di daerah Mulyoharjo Jepara.
Di kekaisaran Cina, Sungging dikisahkan 
disuruh untuk melukis seorang permaisuri raja dalam keadaaan tanpa 
busana. Saking indah dan detailnya lukisan tersebut sampai tergambar 
tahi lalat di bagian kewanitaan sang permaisuri. Melihat lukisan itu, 
sang Raja marah karena mengetahui Sungging Prabangkara telah menghianati
 keinginan sang Raja dengan tidak senonoh melukis bagian terlarang.
Karena kesalahannya, sang Raja 
memerintahkan Sungging untuk melukis Kekaisaran Cina dari atas. Jaman 
dahulu belum ada alat yang bisa melihat obyek dari ketinggian. Maka sang
 Raja menyuruh para prajurit untuk menerbangkan layang-layang yang 
sangat besar. Layang-layang ini kemudian menjadi media Sungging untuk 
melihat bangunan kekaisaran Cina dari atas.  Namun karena tiupan angin 
yang kencang, malapetaka pun terjadi. Beberapa pusaka milik Sungging 
jatuh dan beterbangan. Benda pusaka yang beterbangan tersebut dikisahkan
 jatuh di Mulyoharjo belakang gunung Jepara, Pasuruan, dan Bali.
Pusaka milik Sungging Prabangkara yang 
jatuh di tiga daerah yang berbeda tersebut, kemudian menjadi cikal bakal
 warga Jepara, Pasuruan, dan Bali untuk meneruskan kesenian mengukir. 
Pusaka tersebut kemudian dikembangkan menjadi beberapa mata pisau pahat 
atau tatah.
Benda pusaka berupa tatah, di Jepara 
dikembangkan dengan jumlah 30 tatah terdiri dari 10 bilah tatah penyilat
 dan 20 bilah tata penguku. Sedangkan untuk tambahan antara lain, 4 
bilah tatah coret, 7 bilah tatah coret bengkok. 10 bilah tatah kol, 2 
bilah tatah kol bengkok. 7 bilah tatah propil, 6 bilah tatah penyilat 
bengkok, 4 bilah tatah pengot dan 5 buah tatah buluk. Masing-masing 
tatah atau pisau pahat mempunyai fungsi yang berbeda-beda, sehingga 
menghasilkan seni ukir yang bernilai tinggi.
Legisan memulai usaha pada tahun 2011, 
setelah melakukan perantauan dari tahun 1990 ke berbagai daerah seperti 
Lamongan, Malang, Banyuwangi dan Bali. Di perantauan, Legisan bekerja 
untuk mengukir, dan mengajarkan ilmu ukir kepada masyarakat setempat. 
Sejak kembali ke Jepara, tepatnya tahun 2011, Legisan membuka usaha 
dengan memulai ukiran ikan arwana. Bahan kayu yang digunakan kayu Jati 
dan kayu lain tergantung permintaan pelanggan.
Proses pengukiran memiliki beberapa 
proses meliputi penggergajian, pembentukan, dan mulai proses pengukiran 
yang masuk dalam tahapan rumit. Setelah selesai dilakukan proses finishing
 yakni dengan menyemprotkan melamin pada ukiran. Proses penyemprotan 
melamin mempunyai dua motif yakni natural dan dove. Ukiran yang sudah 
jadi akan terlihat secara jelas urat kayunya.
Untuk hasil yang di ekspor ke Cina tidak dilakukan finishing. Menurut Legisan, teknik finishing
 di Cina lebih bagus dari yang ada di Jepara. Walaupun Cina dulu sebagai
 tempat pembelajaran Sungging Prabangkara, namun sekarang mereka malah 
mengimpor dari Jepara. Hal ini sebenarnya bukan masalah teknik keahlian 
mengukir, melainkan bahan baku di Cina sudah tidak ada. Sedangkan di 
Indonesia bahan baku bisa diperoleh dari Klaten, Jawa Timur dan 
Palembang. Legisan menggunakan kayu tembesi atau dikenal dengan joko 
kesat sebagai media ukir.
Dalam menjalankan bisnis seni ukir, 
Legisan berusaha untuk memenuhi permintaan pasar. Permintaan pasar 
biasanya jenis ukiran ikan arwana, yang marketnya banyak di Korea, 
Thailand, dan Cina. Permintaan seperti ini menjadi harapan setiap 
seniman ukir. Namun ditengah permintaan pasar yang besar, Legisan 
merasakan kurangnya SDM, bahkan menurutnya hampir punah, terutama dari 
generasi muda.
Untuk sebuah ukiran ikan arwana, dijual 
mulai harga Rp2,5 juta tergantung pembelinya, apakah dari daerah asal 
atau dari luar daerah. Legisan tinggal di kawasan sentral industri 
ukiran Mulyoharjo. Kawasan ini pernah terkenal dipenjuru dunia beberapa 
tahun yang lalu, karena membuat karya ukir Macan Kurung, ukiran macan 
yang berada dalam jeruji.


Post A Comment:
0 comments: